Cerita Tentang Desa Pujon Kidul: Pionir Desa Wisata di Malang

Desa Pujon Kidul di Kabupaten Malang, Jawa Timur, dulunya seperti desa lain yang didominasi oleh sawah yang tidak terlalu subur. Namun, berkat dedikasi penduduk desa yang penuh semangat selama dua tahun terakhir, desa seluas 323.159 hektar ini telah berubah menjadi desa wisata yang populer di kalangan wisatawan. Perubahan desa dimulai dengan upaya memperbaiki pengelolaan air bersih pada tahun 2015 menggunakan konsep desa wisata. Penduduk setempat mulai menanggapi secara positif, bahkan dengan membuka kafe dengan pemandangan sawah dan bukit-bukit di sekitar desa.
 

Desa Wisata Pujon Kidul Malang

 
Baru-baru ini Kafe Sawah seluas 7.000 meter persegi telah menjadi salah satu ikon di desa ini, dan telah menarik banyak wisatawan, terutama setelah manajemen menambahkan beberapa fasilitas tambahan seperti gazebo dan taman bermain. Pengunjung hanya diharuskan untuk membeli tiket seharga Rp 5.000 per orang, yang dapat ditukar dengan makanan dan minuman dari beberapa kios di lokasi.
 
Dilaporkan Desa Pujon Kidul menerima sekitar 500 pengunjung setiap hari pada hari kerja, dan hingga 3.000 wisatawan berkumpul di sana pada akhir pekan. Udi mengatakan Kafe Sawah adalah salah satu perusahaan milik Desa Sumber Sejahtera (BUMDes) di Pujon Kidul yang menerima dananya dari Bank Negera Indonesia (BNI). Pendapatan desa telah meningkat secara signifikan dari hanya Rp 30 juta menjadi Rp 530 juta per tahun.
 
Udi mengatakan desa lain di Kabupaten Malang tidak perlu takut untuk memulai BUMDes. Undang-undang dan peraturannya sangat jelas, asalkan dikelola secara transparan dan bertanggung jawab. Karena penduduk setempat akan menjadi pemilik, pengusaha dan manajer, mereka harus dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan. Berbagai penghargaan nasional telah diberikan kepada desa yang memiliki populasi hanya 4.146 jiwa ini.
 
Namun, warga masih terjebak dalam euforia ekonomi, sehingga pihak desa masih berusaha keras mengembangkan wisata konservasi alam dan budaya untuk menjaga keseimbangan dan menghindari kepunahan kearifan lokal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *